“Maaf, sudah pernah membuatmu menangis...”
Tiba-tiba sebuah pesan memasuki jendela obrolan jejaring sosialku malam itu. Kubiarkan hening sesaat. Pada awalnya aku tidak tahu pasti siapa kau. Kubuka profile-mu, yang ternyata tidak memberi informasi apa pun selain garis wajah di fotomu yang samar-samar mengingatkanku pada seseorang. Kucoba menggali ingatan-ingatan lamaku. Kebingunganku juga diawali dari tidak tercantumnya nama aslimu di situs itu.
“Masih ingat aku?”
Pesan kedua muncul. Masih kubalas dengan keheningan selama beberapa menit hingga akhirnya aku menyadari siapa yang mengirimiku pesan.
“Ah, kau...ya, aku ingat ”, jawabku. Ternyata itu kau. Butuh waktu lama untuk mengingatmu. Ternyata aku lupa, betapa aku pernah begitu dalam membencimu.
“Sudah lama aku mencarimu. Akhirnya aku menemukanmu di sini.”, dan pesan ketigamu membawa kita ke dalam tipikal obrolan dua manusia yang sudah lama tidak bertemu.
Kau mencariku untuk meminta maaf, dan itu cukup mengejutkanku. Seberapa dalam rasa bersalahmu hingga kau bisa mengingatnya cukup lama? Aku cukup bisa membaca kelegaan yang terselip dalam pesanmu ketika menemukanku. Ah, kenangan... bisa-bisanya membuat hidupmu tidak tenang :)
Kapan terakhir kali kita bertemu? Hmm... 10 tahun yang lalu? Itu pun jika aku tidak salah menghitung. Aku tertawa sendiri mengingatnya. Sudahlah, sepertinya tak ada yang perlu dimaafkan. Waktu secara perlahan telah mengaburkan segala alasanku untuk membencimu. Kita pun masih tergolong ingusan saat itu, benar kan? Atau jika kalau kau tetap tidak ingin menarik perkataanmu, biarlah kita bertukar. Maafkan atas kecengengan sosokku saat itu ya :)
Kau mengirimiku sebuah link. Ternyata itu situs tempat kau menyimpan seluruh rekaman suaramu. Wah, aku tak tahu kalau kau begitu piawai berdendang.
“Ternyata suaramu bagus ya...”, komentarku saat mendengarkan suaramu.
“Tulisanmu juga bagus”, dan rupanya kau sudah mendarat di dunia ngalor-ngidulku. “sangat menyentuh...”, lanjutmu.
“Aku sekedar menyukainya. Jika ada yang memujinya, atau bahkan mengaku telah tersentuh, itu hanya bonus”, ujarku sambil membubuhi icon senyum. Ya, katakanlah ini eksekusi otak, katakanlah ini curahan hati, atau katakanlah ini pelarian. Aku tetap percaya bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Rupanya obrolan ini pun harus berakhir. Cukup singkat untuk membangunkan lagi kenangan yang tertidur dan menandainya dengan stempel ‘Case closed’. Sejujurnya aku cukup lega ketika kau menemukanku. Mari lanjutkan hidup kita masing-masing. Semoga kau bukan lagi anak laki-laki yang suka membuat anak perempuan menangis :)
1 comments:
kalau memang ridha perwakilan semua wanita
berarti emang benar case saya juga closed...
masih kalah sih si saya
cuma 4 tahun...hahaha
Post a Comment