May 8, 2012

Kanvas Dinding dan Cerita yang Belum Selesai

May 8, 2012
.......... 
'Mengapa kamu menangis?'
'Ah... tidak apa-apa, hanya teringat...'
..........

Kisah ini sudah usang. Tapi ternyata belum mati. Kalau memang wujudnya timbul tenggelam, mungkin dia hanya tertidur. Terkadang menari-nari dalam bayangan. Ada yang masih tersisa di sana...




Seorang perempuan kecil, tanpa alas kaki, menemukan dunia tanpa batas di suatu sudut kotak pembatas ruang. Imajinasi alakadarnya menari-nari di permukaan dinding yang dianggapnya sebagai kanvas. Tak ada lukisan indah di sana. Yang ada hanyalah coretan khas anak-anak yang sekedar baru bisa menggambar stickman. Perempuan kecil itu selalu dimarahi. Kanvas kesayangannya dilukis ulang oleh cat tembok berwarna putih. Tapi kemudian dia melukis lagi. Lalu kemudian dia dimarahi lagi.

Suatu saat perempuan kecil itu bersemangat untuk pergi sekolah. Ia tak mau rambutnya diikat manis. Kalau boleh pun, Ia tak mau memakai alas kaki. Tapi seragam mengharuskannya memakai sepatu. Sesampainya di sekolah semangatnya pudar. Mereka semua diantar ke sekolah, tapi perempuan kecil itu datang sendiri. Esoknya Ia mogok sekolah. 'Aku ingin ditemani...', katanya.

Suatu hari, perempuan kecil dan teman-temannya ditugaskan menggambar pemandangan. Sang Guru mencontohkan sebuah pemandangan klise. Dua buah gunung lengkap dengan matahari yang mengintip malu-malu di tengahnya, hamparan sawah yang ditanami padi berbentuk huruf V, sepetak jalan, dan tak lupa burung-burung - atau mungkin huruf M- beterbangan mengelilingi awan. Semua temannya meniru persis. Perempuan kecil tak mau sama. Ia dimarahi. Puncak gunung dengan seorang anak yang merentangkan tangan seperti memeluk langitnya gagal mendapatkan nilai. 'Ini pemandanganku, Bu...', pikirnya.

Di tahun yang lain, perempuan itu memasuki sekolah yang lebih tinggi. Di tempat itu Ia baru benar-benar berkenalan dengan matematika. Tapi mengapa matematika begitu mengerikan? Perempuan kecil itu tidak suka kepalanya dijejali angka-angka. Apalagi jika menjejalinya diiringi umpatan dan pukulan. Sesampainya di rumah, Ia ingin mengadu. Ternyata tidak ada siapa-siapa. Perempuan kecil itu menelannya sendirian.

Di jenjang berikutnya, si perempuan kecil berkenalan dengan pekerjaan yang umumnya dilakukan wanita, menjahit. Perempuan kecil tak suka menjahit, sekalipun ibunya mati-matian mengajarinya. Suatu waktu sang guru di sekolah memberinya tugas membuat celemek. 'Celemek itu paling gampang!', ujarnya meyakinkan. Tapi mengapa tak semudah yang kau bilang, Guru? Perempuan kecil itu urung mengerjakan. Seminggu berikutnya, gurunya berubah menjadi ksatria garang bersenjatakan penggaris kayu. Dia bersedia menumpas siapa pun yang tak juga membuat celemek. Perempuan kecil salah satunya. Sambil memukul pipinya, sang guru bertanya dengan nada tinggi, 'Mengapa tidak dikerjakan? Kapan akan dikumpulkan celemeknya?'. Perempuan kecil hanya menangis, tidak menjawab. Percayakah sang Guru jika perempuan kecil bilang Ia tak suka menjahit karena tangannya basah? Sepertinya tidak. Lebih baik Ia diam. Beberapa hari setelahnya, perempuan kecil begitu takut melihat celemek. 

Di kelas berikutnya, perempuan kecil dijejali hal lain lagi. Kali ini menteri-menteri. Tak satu pun Ia kenal. Tapi sudah ada jadwal waktu untuk masing-masing anak untuk berdiri di depan kelas menyebutkan semua nama dan jabatan mereka. Perempuan kecil gagal lagi. Perempuan kecil dibilang bodoh. 'Tak apa...', kata perempuan kecil. Mungkin menterinya berganti sebentar lagi, untuk apa dihapalkan. 

Semakin hari perempuan kecil makin tak bersemangat sekolah. Gurunya yang lain kembali melakukan inovasi. Membagi 4 baris bangku muridnya berdasarkan tingkat kebodohan dan kepintarannya. Perempuan kecil sedih. Ia seringkali sengaja merekayasa nilai ujiannya agar bisa berpindah tempat duduk. Jika Ia ingin duduk dengan temannya yang pintar, Ia isi semua lembar ujiannya. Pun jika Ia ingin duduk dengan temannya yang dikatakan bodoh, Ia kosongkan sebagian lembar ujiannya. Perempuan kecil bosan. Ia mulai mencari-cari alasan untuk tidak pergi ke sekolah. Alasan yang paling mungkin adalah sakit. Sakit hati, mungkin. Perempuan kecil selalu menahan tangis ketika berangkat sekolah, lalu meluapkannya sepulang sekolah. 

Suatu saat perempuan kecil dibawa ke suatu tempat di luar kota. Ia bertemu seorang wanita yang kerjanya banyak bertanya dan mau mendengarkan. Ternyata itu memang profesinya. Wanita itu mendekatinya agar mau bercerita. Perempuan kecil pun bercerita. Kata-kata yang diucapkannya hanya berputar pada beberapa kosa kata seperti penggaris kayu, celemek, gambar menteri, gambar pemandangan, dan matematika. Lalu pikirannya tiba-tiba penuh. Penuh oleh wajah guru-gurunya...

'Kalau seperti itu yang dinamakan sekolah, jangan sekolahkan aku, Pak...Bu...'


***


Bertahun-tahun setelahnya, perempuan kecil itu menjadi seorang guru...
dan merasa... banyak hal yang belum selesai. 



9 comments:

hengki

:)

Sangat personal sekali, sayang... :)

>>:D<<

Maximum

Ya mungkin itulah yang dinamakan sekolah bagi perempuan kecil itu,, mangkanya berkata "jangan sekolahkan aku pak bu.. " hehe..

Yulia Rahmawati

minoooo...
is that your story?
Is that real?

belajar komputer

wow cerita yang sangat menarik... thank

belajar komputer

thank untuk story sangat meng inspirasi

properti listing

sambil berkarya boleh juga menuntut ilmu boleh juga untuk belajar investasi properti disini

Gamat Luxor

ceritanya sangat bagus

Obat Alami Maag Kronis

ini kunjungan pertama saya, makasih ya,
ceritanya juga bagus

Lestari News

mirip cerita guru di daerah terpencil di desaku

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails